“Konsep Dasar Hukum
Internasional”
Hukum internasional sering juga disebut hukum
bangsa-bangsa, hukum antar bangsa, atau hukum antar Negara. istilah-istilaln
tersebut merupakan terjemahan dari bahasa asing, scperti law of nations droit
de gens, atau Voelkerrecht, Namun demikian, jika diperhatikan, istilah-istilah
yang dipakai itu menunjukkan perkembangan dari pengertian hokum internasional
itu sendiri.
Hukum internasional atauHukum bangsa-bangsa (law
of nation, droit de gens, atau Voeikerrecht ) yang berasal dari istilah dalam
hukum Romawi, “ius gentium”, dalam arti yang semula bukanhanya bcrarti hukum
yang berlaku di antara bangsa-bangsa, tetapi juga merupakan kaidah-kaidah dan
asa-asas hukum yang mengatur hubungan antara orang romawi dan orang bukan
Romawi, serta orang bukan Romawi satu sama lain. Hal itu dapat terjadi karena
berada dalam suasana kehidupan masa imperium (kerajaan).
Dalam
perkembangannya, terutama karena perubahan peta bumi politik (setelah perang
dunia II), muncullah Negara-negara baru, yang dikenal sebagai zamannya
Negara-negara(nation-state). Oleh karena itu, dipakai istilah hukum
antarbangsa atau hukum antar negara sebaga ikaidah-kaidah dan asas-asas yang
mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa atau
Negara-negara, dalam pengertian nama Negara-negara yang kita kenal sekarang
ini,seperti Indonesia, India, dan Malaysia.
Perkembangam
selanjutnya, ketika subjek hukum internasional, tidak hanya Negara, tapi juga
mencakup orang perorangan (individu}, tahta suci, palang merah intenasional ,
dan organisasi internasionai, istilah yang dipakai pun menjadi hukum internasional.
Hukum
internasiona merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota Masyarakat
internasional yang sederajat dalam hal ini kita periu memahami pemakain
istilah“masyarakat internasiona” dan “Negara dunia"
Hukum Internasional ialah
keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara antara:
◦
negara dengan negara;
◦
negara dengan subyek hukum lain
bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
Berdasarkan
perkembangan dunia saat ini, ada beberapa pakar hokum internasional yang mengungkapkan
istilah yang tepat untuk hokum internasional. Mereka ada yang menyebut hokum
dunia (world law). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam buku “Pengantar Hukum
Internasional”, kedua istilah tersebut ada kemungkinannya. Jika kita memilih
istilah “Hukum Internasional” (sebagai tertib koordinasi), hal hal itu lebih
sesuai dengan kenyataan dunia saat ini, sedangkan istilah “hokum dunia”
(sebagai tertib hukum subordinasi) merupakan suatu hal yang saat ini masih jauh
dari kenyataan.
Makna hukum internasional,
dapat diaartikan sebagai sekumpulan hokum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perilaku yang
harus ditaati oleh Negara-negara dan oleh karena itu harus di taati dalam
hubungannya dengan Negara lain.
Jika dilihat dari
dari persoalan yang dibahas, hokum internasional (International Law) dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
a.
Hokum perdata internasional, yaitu keseluruhan
peraturan dan asas hokum tentang persoalan-persoalan perdata antarwarga Negara yang
melintasi batas Negara.
b.
Hokum public internasional (hokum antarnegara),
yaitu hokum tentang persoalan-persoalan yang melintasi batas Negara yang bukan
bersifat perdata. Misalnya pengiriman duta, batas wilayah suatu Negara,
ekstradisi, dan sebaginya. Hokum public inilah yang sering dibahas sebagai
hokum internasional.
Dengan demikian, persamaan antara
hukum internasional (publik) dan hokum perdata internasional ialah keduamya
mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara
(internasional), sedangkan perbedaannya terletak dalam sifat hukum dari
hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).
Adapun
dalam arti modern, hokum internasioanl dapat dibagi dua, yaitu :
a.
Hokum tertulis adalah hokum internasional yang
berupa perjanjian antarnegara dalam bentuk tertulis (International Agreement
Inwritten Form).
b.
Hokum tidak tertulis adalah hokum internasional
antarnegara dan subjek hokum lainnya dalam bentuk tidak tertulis (International
Agreement Not in Written Form), misalnya pernyataan Presiden Prancis George
Pompidow kepada masyarakat dunia untuk tidak mengulang percobaan bom nuklir.
Beberapa sarjana
menyatakan pendapatnya tentang hokum internasional, antara lain :
a.
Hugo de Groot
(Grotius), dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (perihal perang dan
damai) mengemukakan bahwa hokum dan hubungan internasional didasarkan pada
kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua Negara. Ini ditujukan demi
kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya.
b.
Sam Suhaedi, berpendapat bahwa hokum
internasional merupakan himpunan aturan-aturan, norma-norma, dan asas yang
mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat internasional.
c.
J.G. Strake, menyebutkan bahwa hokum
internasional adalah sekumpulan huku (body of law) yang sebagian besar terdiri
atas asas-asas dan karena itu biasanya ditati dalam hubungan Negara-negara satu
sama lain.
d.
Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa hokum
internasional adalah keseluruhan kiedah dan asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas Negara, anatara Negara dengan Negara, dan
Negara dengan subjek hokum internasional lainyya yang bukan Negara atau subjek
hokum bukan Negara satu sama lain.
e.
Prof. Charles Cheney Hyde, dalam bukunya
“Internationaln Law” yang meliputi peraturan-peraturan hokum mengenai
pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga, organisai-organisai internasioanl, hubungan
lembaga-lembaga dan organisasi-organisai itu masing-masing, serta hubungannya
dengan Negara-negara dan individu-individu, dan peraturan-peraturan hokum tersebut
mengenai individu-individu dan kesatuan-kesatuan bukan Negara, sepanjang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan kesatuan itu merupakan masalah
persekutuan internasional.
Dari beberapa
definisi hokum internasional di atas, kita dapat menyimoulkan bahwa hokum
internasional merupakan hokum yang mengatur hubungan hokum antarnegara dan
Negara, Negara dan subjek hokum lain bukan Negara, atau subjek hokum bukan
Negara satu sama lain.
“Asas Hukum Internasional”
Hokum internasional diberlakukan
dalam rangka menjaga hubungan dan kerja sama antaar Negara. Karena itu, hokum
tersebut tidak boleh dibuat tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing
Negara. Untuk itu diperlukan asas hokum internasional dalam rangka menjalin
hubungan antarbangsa. Asas-asas tersebut, yaitu :
a.
Asas territorial
Asas territorial didasarkan pada kekuasan
Negara atas daerahnya. Menurut asas ini, Negara melaksanakan hokum bagi semua
orang dan semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi, terhadap semua barang atau
orang yang berada di luar wilayah tersebut berlaku hokum asimg (internasional)
sepenuhnya.
b.
Asas kebangsaan
Asas kebangsaan didasarkan pada kekuasaan
Negara untuk mengatur warga negaranya. Menurut asas ini, semua warga Negara
dimanapun berada, tetap berada dibawah jangkauan hokum Negara asalnya. Asas ini
mempunyai kekuatan extratorial. Artinya, hokum suatu Negara tetap berlaku bagi
warga negaranya, walupun dia berada di Negara lain.
c.
Asas kepentingan umum
Asas kepentingan umum didasarkan kewenengan
negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini, Negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan
peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hokum tidak
terikat pada batas-batas wilayah suatu Negara. Asas kepentingan umum terbagi ke
dalam dua bagian, yaitu :
1.
Asas persamaan derajat
Hubungan antarbangsa hendaknya didasarkan pada asas bahwa Negara yang
berhubungan adalah Negara yang berdaulat. Secara formal Negara-negara di dunia
sudah sama derajatnya. Tetapi secara factual dan substansial masih terjadi
ketidaksamaan derajat, khususnya dalam bidang ekonomi.
2.
Asas keterbukaan
Dalam hubungan antarbangsa yang berdasarkan hokum internasional,
diperlukan adanya kesedian masing-masing pihak untuk memberikan informasi
secara jujur dan dilandasi rasa keadilan.
Terdapat juga asas hokum public internasional yaitu :
1.
Asas equality, yaitu asas persamaan derajat di
antara Negara yang mengadakan hubungan.
2.
Asas courtesy, yaitu adanya saling menghormati
antarnegara yang mengadakan hubungan.
3.
Asas reciprocity, yaitu adanya hubungan timbal
balik dan saling menguntungkan antarnegara yang mengadakan hubungan.
4.
Asas sunt servada, yaitu harus adanya kejujuran
antarpihak dalam menaati perjanjian yang disepakati.
keempat asas ini menjadi kekuatan
hokum dan moral bagi semua Negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian
internasional. Asas ini dapat diaartikan bahwa setiap perjanjian internasional
yang telah disepakati bersama harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak
tanpa ada pengingkaran (pasal 26 Konvensi Wina 1969). Hal ini dimaksudkan agar
tidak menimbulkan kerugiaan bagi Negara yang mengikat diri.
Dalam perjanjian internasional pun
dikenal asas jus cogenst, maksudnya bahwa perjanjian internasional dapat batal
demi hokum jika pada pembentukannya bertentangan dengan suatu kaidah dasar
hokum internasional umum (pasal 53 Konvensi Wina 1969). Jika timbul jus cogenst
baru, maka perjanjian internasional yang mengandung jus cogenst tidak berlaku
lagi dan para Negara dibebaskan dari kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut. Namun demikian, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban hokum serta keadaan hokum tertentu yang telah diperoleh
Negara peserta berdasarkan perjanjian tersebut tidak langsung menjadi batal,
kecuali bila hak, kewajiban, dan keadaan tersebut jelas bertentangan dengan jus
cogenst yang baru (pasal 7 Konvensi Wina 1969).
Adapun salah satu asas dalam hokum pidana internasional adalah nebis in
dem. Maksud dari asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Tidak seorang pun dapat diadili sehubungan
dengan perbuatan kejahatan yang untuk itu bersangkutan telah diputus bersalah
atau dibebaskan, kecuali apabila dalam status karena keaadaan tertentu ada
ketentuan yang memungkinkan untuk itu.
2.
Tidak seorang pun dapat diadili di pengadilan
lain untuk kejahatan yang di rumuskan dalam pasal 5, di mana orang tersebut
telah di hokum atau di bebaskan oleh pengadilan pidana internasional.
3.
Tidak seorang pun yang telah diadili oleh suatu
pengadilan di suatu Negara mengenai pebuatan yang dilarang berdasarkan pasal 6,
7, dan pasal 8 boleh diadili berkenan dengan perbuatan yang sama, kecuali jika
proses prakara dalam pengadilan dilakukan oleh Negara tertentu.
Adapun
pengadilan yang dimaksud :
a.
Bertujuan untuk melindungi orang yang
bersangkutan, dari pertanggungjawaban pidana untuk kejahatan yang berbeda di
dalam yurisdikasi Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court).
b.
Perbuatan tidak dilakukan mandiri dan dilakukan
dengan cara yang tidak sesuai dengan
alasan diajukannya yang bersangkutan ke depan pengadilan dan tidak selaras
dengan kaidah hukukum internasional (pasal 20).
Selain nebis in
idem, hokum pidana internasional pun mengenal asas-asas, antara lain :
1.
. asas legalitas (nullum crimen sine lege atau
nulla poena sine lege) melalui asas ini hendak diteknakan bahwa ICC hanya dapat
menjatuhka pidana hanya berdsarkan pada Statuta Roma 1998. berlakunya asas ini
tidak bisa diperluas dengan analogi.
2.
asas
non-retroactive ratio personae (asas tidak boleh berlaku surut) ICC hanya dapat
menerapkan yuridiksi kriminalnya terhadap suatu kejahatan yang dilakukan
setelah Statuta Roma 1998 berlaku efektif, yaitu sejak tanggal 1 Juli 2002
setelah tercapai 60 ratifikasi. Terhadap kejahatan internasional (pelanggaran
HAM berat) yang dilakukan sebelum tanggal 1 Juli 2002, ICC tidak mempunyai
kewenangan untuk mengadili.
3.
asas
pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responbility)
seorang yang melakukan kejahatan dibawah yurisdiksi ICC hanya dapat
dipertanggungjawabkan secara individual. Jadi dalam hal ini ICC tidak dapat
menjatuhkan pidana terhadap suatu negara akibata tindak pidana yang dilakukan
oleh pejabatanya, meskpun perbuatannya dilakukan oleh pejabatnya, meskipun
perbuatanya dilakuka dalam konteks sebagai pimpinana negara.
4.
asas
kesalahan fakta atau kesalahan hukum (mistake of fact or mistake of law
principle) kesalahan fakta dapat dijadikan dasar untuk dijadikan alasan
penghapusan pertanggungjwaban pidana, keculai sikap batin yang disyaratakan
oleh kejahatan itu dipenuhi. Sementar itu kesesatan mengenai hukumnya tidak
dijadikan alasan penghapus pertanggungjawaban pidana,kecuali sikap batin yang
disyaratkan oleh kejahatan itu dipenuhi.
5.
asas ne bis in idem berlakunya asas ne bis in
idem ini tidak berlaku absolut, karena berlakunya dibatasi dengan asas
complementary yang menjadi asas dasar ICC. Maksudnya ICC dapat mengadili
perkara pelanggara HAM berat yang telah diadili/diputus oleh pengadilan suatu
negara. Menurut penilaian ICC pengadilan tersebut bertujuan melindungi terdakwa
dari pertanggungjawaban pidana dan atau proses pengadilan berjalan tidak bebas
atau putusan pengadilan memihak.
6.
asas
presumption of innocence seseorang hanya dapat dianggap bersalah setelah adanya
keputusna pengadilan yang tetap.
7.
asas
responbility of commanders and other superiors seorang komandan (untuk militer)
atau atasan (sipil) bertanggungjawab terhadap akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh bawahannya. dari Namun
ada hal-hal yang mengecualikan pertanggungjawaban tersebut, yaitu terdiri
apabila :
a)
bawahan
tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari pemerintah
atau atasan yang bersangkutan;
b)
orang
tersebut tidak tahu bahwa perintah itu melawan hukum,
c)
perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum.
Dan Ada banyak hal yang harus digaris bawahi
dalam Statuta Roma ini salah satunya adalah diakuinya prinsip komplementaritas,
yaitu bahwa mahkamah pidana internasional merupakan pelengkap bagi yuridiksi
pidana nasional (pasal 1). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem
nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar unable dan/atau
unwilling dan pada kahirnya tidak menuntut (decided not the prosecute)
pelanggaran HAM berat di negara yang bersangkutan maka ICC dapat mengadilinya.
Sementara itu,
dalam hokum diplomatik dan konsuler dikenal asas inviolability dan immunity.
Dalam pedoman tertib diplomatik dan protokoler, inviolability merupakan
terjemahan dari inviolable yang artinya seorang pejabat diplomatic tidak dapat
ditangkap atau ditahan oleh alat perlengkapan Negara penerima dan sebaliknya,
Negara penerima berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah demi mencegah
serangan atas kehormatan dan kekebalan pribadi pejabat diplomatik yang bersangkutan.
Berbeda halnya, dengan asas immunity, yang berarti bahwa pejabat diplomatik
kebal terhadap yurisdiksi dari hokum Negara penerima, baik hokum pidana, hokum
perdata, maupun hokum administrasi. Dalam pedoman tertib diplomatik dan
protokolor asas immunity diperinci menjadi tiga bagian, yaitu kekebalan pribadi
pejabat diplomatik, kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman, serta
kekebalan terhadap korespondensi perwakilan diplomatik.